Selasa, Agustus 25, 2009

Peluncuran Buku Tan Malaka, Gerakan Kiri Dan Revolusi Indonesia (Jilid 2)

Penulis: Ady Thea
Potografer: Ady Thea
25 Agustus 2009

Harry A. Poeze, sejarawan Belanda yang meneliti tentang kehidupan Tan Malaka, selasa (25/8) di kantor Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, menjelaskan tentang poin-poin penting dalam bukunya berjudul "Tan Malaka, Gerakan Kiri Dan Revolusi Indonesia (Jilid 2)." Ia menjelaskan bahwa Tan Malaka adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia, namun semasa pemerintahan Soeharto, namanya ditenggelamkan. Tan Malaka dan Alimin adalah dua tokoh nasional yang tidak pernah disebut dalam buku-buku pelajaran di sekolah-sekolah. Kedua tokoh itu merupakan tokoh komunis yang turut berjuang dalam memperjuangkan kemerdekaan di Indonesia.

Tan Malaka adalah salah satu tokoh komunis Indonesia kawakan yang banyak membangun basis-basis perjuangan rakyat di berbagai belahan dunia. Pada tahun 1921 Tan Malaka menjadi pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI), menggantikan pemimpin sebelumnya, Semaoen. Tan Malaka juga disebut oleh beberapa peneliti sebagai tokoh yang sepadan jika dibandingkan tokoh nasional yang sangat populer, Soekarno. Maka layak, di tahun 1945 Tan Malaka dipersiapkan oleh Soekarno untuk menggantikan kepemimpinannya jika ia mengalami keadaan bahaya sehingga tidak dapat menjalankan tugas sebagai pemimpin ketika itu.

Tan Malaka disebut sebagai “Bapak Repoeblik Indonesia” karena ia telah membuat konsep tentang terbentuknya Negara Republik Indonesia jauh sebelum tokoh-tokoh lainnya, bahkan Soekarno sekalipun. Tan Malaka, seorang pribadi yang ulet, pemikir cerdas dan revolusioner. Namun sayang nyawanya harus berakhir tragis, atas perintah Soekotjo yang ketika itu berpangkat Letnan Dua, dari Divisi Brawijaya, Tan Malaka ditembak mati.

Dalam kegiatan peluncuran buku itu, Poeze bukan hanya menjelaskan isi dari bukunya, ia juga menampilkan beberapa poto yang jarang atau bahkan belum pernah dilihat sebelumnya di buku-buku sejarah seperti poto Sjahrir dan Amir Sjariffudin yang duduk bersebelahan membaca koran, poto Tan Malaka disebelah Soekarno dalam rapat raksasa dan lain-lain. Ia juga sempat memutar beberapa buah lagu perjuangan seperti lagu Indonesia Raya yang diciptakan W.R. Supratman sebelum masa perang dunia kedua dan lagu Darahh Rakyat yang sangat populer dinyanyikan sebagai lagu perjuangan ketika itu.

Sejarah Indonesia, sejak rezim Soeharto berkuasa, diselewengkan sedemikian rupa, sehingga penafsiran terhadap sejarah hanya digunakan untuk kelanggengan kekuasaan rezim. Pantaslah sampai hari ini sebagian besar massa rakyat di Indonesia dijejali oleh kepalsuan-kepalsuan sejarah. Yang diulang terus-menerus selama rezim berkuasa, sehingga kepalsuan itu berubah menjadi “kebenaran”. Bagaimanapun, kebenaran sejati tidak akan pernah mati.

Buku setebal 400 halaman itu menjelaskan bagaimana sepak terjang Tan Malaka dalam berjuang bersama tokoh-tokoh kemerdekaan lainnya dengan sangat rinci dan jelas. Buku itu menjelaskan kehidupan Tan Malaka kurang lebih selama dua tahun. Banyak sejarawan dari dalam maupun luar negeri mengakui Poeze sebagai seorang sejarawan yang sangat detail dalam melakukan sebuah penelitian. Maka tidak heran jika buku hasil penelitiannya dapat dicetak berjilid-jilid banyaknya. Itulah keitimewaan Poeze, kedetailan dari setiap karyanya menunjukkan betapa banyak sumber yang dia dapat. Karyanya memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap perkembangan sejarah Indonesia.

Peluncuran Buku Harry A. Poeze; Jilid 2: Tan Malaka, Gerakan Kiri Dan Revolusi Indonesia. (Jakarta, 25 Agustus 2009)

Lokasi dipenuhi oleh undangan yang hadir.







Poeze (tengah) di dampingi oleh sejarawan Indonesia, Prof Dr Taufik Abdullah (kanan) dan seorang moderator yang merupakan wartawan senior (kiri).






Peminta tanda tangan menunjukkan namanya yang ditulis di telapak tangan.







Poeze sedang membubuhkan tanda tangan.







Dengan senang hati Poeze melayani pengunjung yang meminta tanda tangan.








Penulis: Ady Thea
Potografer: Ady Thea

Kamis, Agustus 20, 2009

Venezuela Semakin Waspada Terhadap Ancaman Militer AS

Penulis: Ady Thea

Editor: Ted Sprague

14 Agustus 2009


Belum selesai masalah di Honduras selesai, dimana Presiden Manuel Zelaya yang terpilih secara demokratis dikudeta oleh petinggi-petinggi militer yang pro-kapitalis, kini kaum revolusioner di Amerika Latin digerahkan oleh sikap pemerintahan Kolombia di bawah kepemimpinan Presiden Alvaro Uribe yang menjalin hubungan kerjasama dengan Amerika Serikat (AS). Sebelumnya Uribe telah menuduh pemerintahan Venezuela memasok senjata kepada kelompok gerilyawan di Kolombia, Revolutionary Forces of Colombia (FARC). Pemerintahan Venezuela menanggapi tuduhan Kolombia itu dengan mengatakan bahwa kelompok gerilyawan telah mencuri persenjataan milik Venezuela di pos militer milik Venezuela yang letaknya berbatasan atau berdekatan dengan Kolombia pada tahun 1995, dimana Chavez ketika itu belum menjabat sebagai presiden. Chavez juga mengatakan bahwa badan intelijen AS, Central Intelligence Agency (CIA), bekerjasama dengan pemerintahan Kolombia dengan mendukung pasukan paramiliter masuk secara ilegal ke wilayah Venezuela untuk melakukan skenario pembunuhan dan kudeta. Melihat kondisi pemerintahan Kolombia yang semakin “tidak bersahabat”, pekan lalu pemerintahan Venezuela memutuskan hubungan diplomatik dengan Kolombia dan berencana untuk membeli sejumlah peralatan tempur seperti tank dari Rusia untuk merespon kebijakan yang dilakukan oleh AS dan Kolombia.

Karena saat ini Kolombia membolehkan pemerintah AS mengirim ratusan tentaranya untuk menempati basis-basis militer yang ada di Kolombia. Pemerintahan Uribe berdalih bahwa tindakan itu merupakan bentuk kerjasama antara Kolombia – AS untuk memerangi terorisme dan perdagangan narkoba. Dalam kurun waktu delapan tahun terakhir ini, Kongres AS telah menyetujui bantuan militer sebesar 5,5 milyar Dollar AS untuk Kolombia, kebijakan ini disebut Plan Colombia. Presiden AS, Barack Obama, mengatakan bahwa AS dan Kolombia telah melakukan kerjasama militer dan penempatan pasukan ini merupakan bagian dari kesepakatan itu. Obama juga menjelaskan bahwa ia tidak berkeinginan untuk membangun basis militer AS di Kolombia.

Chavez melihat kebijakan yang diambil oleh AS-Kolombia itu merupakan langkah awal dari peperangan yang akan berkobar di wilayah Amerika Selatan. “Kaum Yankees (AS) tidak menginginkan kita bersatu sebagai sebuah kesatuan regional, mereka tidak ingin adanya persatuan antara Venezuela dan Kolombia”, kata Chavez. Kolombia di bawah kepemimpinan Uribe menjalin hubungan yang sangat mesra dengan AS. Oleh karena itu bantuan ekonomi politik AS terus mengalir ke Kolombia. Hubungan ini dijalin semakin erat karena saat ini AS tidak banyak mendapat simpati dari pemerintahan revolusioner di beberapa negara di wilayah Amerika Latin. Hegemoni AS di Amerika Latin semakin berkurang drastis semenjak bermunculannya kekuatan pemerintahan progresif yang menentang penindasan AS.

Menyangkut persoalan antara pemerintahan Venezuela dan Kolombia, beberapa negara Amerika Latin yang berada di bawah kepemimpinan kaum progresif seperti Chili, Bolivia dan lain-lain merekomendasikan agar Kolombia menjalin kerjasama dengan negara-negara Amerika Latin lainnya untuk mengatasi masalah keamanan di negaranya, terutama tentang perdagangan narkoba dan memerangi terorisme. Hal itu dapat dibicarakan bersama lewat organisasi integrasi politik dan militer UNASUR (Persatuan Negara-negara Amerika Selatan). Langkah ini dinilai tepat karena dapat memperkuat hubungan antar negara di kawasan Amerika Latin. Namun rekomendasi itu tidak diindahkan oleh pemerintahan Uribe.

Negara-negara Amerika Latin saat ini sedang giat untuk melakukan kerjasama di segala bidang baik itu ekonomi, sosial, politik, budaya, militer dan lain-lain. Langkah ini diambil agar negara-negara di Amerika Latin dapat berdiri secara independen, bebas dari aturan-aturan tidak adil dari kaum kapitalis global, sehingga massa rakyat dapat bersatu dalam memperjuangkan kesejahteraan mereka dari cengkraman kuku-kuku kapitalisme. AS semakin gigit jari ketika negara-negara di kawasan Amerika Latin dan Kepulauan Karibia banyak yang bergabung dalam ALBA (Aliansi Bolivarian untuk Rakyat Amerika). ALBA merupakan organisasi antar negara di kawasan Amerika Latin dan Karibia yang menolak konsep perdagangan bebas yang ditawarkan AS beserta sekutunya lewat FTAA (Area Perdagangan Bebas di Amerika). ALBA merupakan organisasi alternatif yang dibentuk dan dipelopori oleh Kuba dan Venezuela. Hingga saat ini jumlah negara anggota ALBA berjumlah 9 negara yaitu Antigua dan Barbuda, Bolivia, Kuba, Dominika, Ekuador, Honduras, Nikaragua, Saint Vincent dan Grenadines, dan Venezuela.

Seperti halnya ALBA, organisasi lainnya yaitu UNASUR, juga dibentuk sebagai sebuah alternatif bagi kerjasama antara negara-negara di kawasan Amerika Latin. Langkah ini penting karena kerjasama yang dilakukan bukan hanya sebatas keuntungan ekonomi semata, namun lebih daripada itu. Kerjasama yang dilakukan didasarkan pada semangat sosialisme, dimana negara-negara yang tergolong miskin akan dibantu semaksimal mungkin agar ia dapat membangun negaranya dengan segenap kekuatan kelas pekerja. Seperti halnya kerjasama yang telah dilakukan oleh Kuba dan Venezuela ketika ALBA pertama kali dibentuk dimana kelas pekerja di Venezuela, lewat pemerintahan Chavez, mengirim kurang lebih 96.000 barrel bahan bakar minyak per-hari untuk massa rakyat Cuba dan sebagai gantinya, kelas pekerja di Kuba, lewat pemerintahan Fidel Castro, mengirimkan kurang lebih 20.000 tenaga-tenaga medis terlatih dan ribuan tenaga pengajar profesional yang ditempatkan di daerah-daerah miskin di Venezuela. Bentuk kerjasama seperti itulah yang tentunya juga dirasakan oleh negara-negara anggota ALBA ataupun UNASUR lainnya.

Namun tampaknya pemerintahan Uribe tidak menginginkan hal itu. Rupanya ia lebih memilih untuk bekerjasama dengan emperium kapitalisme AS dan sekutunya. Bahkan ia telah membuka pintu lebar-lebar agar tentara AS dapat masuk dan menempati basis-basis militer di Kolombia. Chavez menyesali kebijakan yang diambil pemerintahan Uribe. “Saya lebih suka berdiskusi tentang kerjasama dalam pembangunan jalur kereta, pipa minyak, kesehatan, literatur dan pendidikan antara Kolombia dan Venezuela, namun sayang sekali kita mendiskusikan hal yang lain”, kata Chavez.

Referensi:

  • http://www.venezuelanalysis.com/news/4696

  • http://www.venezuelanalysis.com/news/4701