Kamis, Juli 07, 2011

RUU Intelijen: Antara Harapan Dan Kecemasan.

RUU Intelijen: Antara Harapan Dan Kecemasan.

Rancangan Undang-undang (RUU) Intelijen saat ini digodok oleh pemerintah bersama DPR, mendapat sorotan dari berbagai elemen masyarakat. Pasalnya, RUU ini dianggap berpotensi dalam ‘melegalkan’ tindakan-tindakan anti-demokrasi yang dilakukan oleh aparatur pemerintah terhadap masyarakat. Namun pemerintah berdalih, negara membutuhkan UU intelijen untuk memperjelas kewenangan Badan Intelijen Negara (BIN). “Jika UU tentang Intelijen nantinya diberlakukan maka tindakan intelijen akan lebih terukur dan terkoordinasi sehingga tidak terjadi pelanggaran hak azasi manusia (HAM)”, kata Patrialis Akbar, Menteri Hukum dan HAM, sebagaimana dilansir antaranews.com, 22 Maret 2001.

Menurutnya, UU Intelijen akan membatasi kewenangan BIN sehingga kegelisahan masyarakat akan pelanggaran HAM kian menghilang. Nantinya BIN akan berkoordinasi dengan kepolisian agar aparat penegak hukum dapat memproses permasalahan sedari awal dan memberikan perlindungan HAM. Karena menurutnya, selama ini kerja BIN dan instansi-instansi terkait, berjalan sendiri-sendiri. Ketidaktepatan perencanaan dan hubungan antar lembaga itu membuat kinerja penegak hukum lamban dalam mengantisipasi permasalahan.

Untuk pengawasan pelaksanaan UU tersebut, Patrialis mempercayakan kepada DPR dan seluruh elemen masyarakat. Sehingga pembentukan lembaga pengawas baru, tidak dibutuhkan. Dan ia yakin bahwa pemberlakuan RUU itu menjadi UU, akan berjalan efektif.

Sementara, kelompok-kelompok jurnalis dan aktifis-aktifis pro-demokrasi memiliki pandangan berbeda dengan sikap optimis pemerintah. Penangkapan, intimidasi dan penyalahgunaan kekuasaan menjadi sorotan utama mereka dalam mengkritisi RUU Intelijen. "Lihat saja sekarang, wartawan masih bisa dijerat dengan delik pidana, padahal sudah ada UU Kebebasan Pers, apalagi kalau RUU intelijen betul-betul tidak dalam pengawasan, bukan hanya kebebasan pers, namun juga keberlangsungan demokrasi (yang terancam-red)," tutur ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung, Wakos Reza Gautama, di antaranews.com, 12 Juni 2011.

Senada dengan AJI, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) memperingatkan agar kewenangan BIN harus dibatasi dan penangkapan seyogyanya diserahkan kepada pihak kepolisian. RUU Intelijen harus berpegang teguh pada konsep demokrasi dan penegakan HAM, bukan malah mengancamnya. “Jika RUU Intelijen yang sekarang digolkan, kita (masyarakat-red) siap-siap ditangkap,” ujar Koordinator Kontras Surabaya, Andi Irfan, melalui pesan singkat kepada penulis, 21 Juni 2011.

Harapan besar agar UU Intelijen mampu mengakomodir nilai-nilai Demokrasi dan HAM juga diutarakan Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yusgiantoro. Rekam jejak Indonesia di mata Internasional terkait penegakan Demokrasi dan HAM menjadi penekanan utama baginya. "Kita tidak mau lagi melanggar HAM, atau melanggar hukum internasional," kata dia, kepada detiknews.com, 7 Juni 2011.

RUU Intelijen ditargetkan selesai tahun ini. Banyak pihak menanti kehadirannya dengan penuh harapan dan kecemasan. Disatu sisi, keberadaannya dibutuhkan untuk mencegah aksi terorisme dan fundamentalisme, serta menjaga keamanan nasional atas ancaman dari luar negeri. Disisi lain, UU Intelijen harus mampu berjalan harmonis dengan demokrasi dan HAM. Seperti yang sudah dirintis dan diperjuangkan sejak era Reformasi 1998.

Ady Thea